PURE SATURDAY, SISI ROMANTIS DAN GAIRAH SEORANG PENIKMAT MUSIK AMATIR
Membaca buku biografi salah satu
avant-garde indies Bandung ini, membawa saya ke masa-masa gairah nge-band kaum muda 90-an. Saya mulai
bersentuhan dengan musik Pure Saturday dari kakak laki-laki tertua saya. Saya
diam-diam memutar kaset koleksi kakak saya ini, mulai dari dewa 19, Gigi, RHCP
dan salah satunya PS.
Di pertengahan tahun 2005, ketika
semester awal perkuliahan, gaung dan gairah bermusik di Bandung sedang
menyenangkan untuk dinikmati. Betapa tidak, setiap bulannya ada gigs yang bisa
dinikmati secara gratis ataupun berbayar. Tahun itu pula dijadikan tahun kembalinya
PS yang mati suri.
āPure Saturday mengalami situasi gamang. Hidup segan mati tak mau. āKami sendiri bingung ini band mau dibawa kemana,ā Ujar Udhi. Tak lama setelah itu, Pure Saturday boleh dibilang vakum. Di tengah situasi serba tidak jelas itu, Ade memutuskan pergi ke Selandia Baru menjelang tahun 2000. āSempat bingug juga nih band mau kemana sih. Saya sudah nggak punya apa-apa lagi. Satu-satunya band yang saya harapkan ternyata sudah mati.āā (Hal. 101)
Saya tidak sempat menonton mereka, karena
alasan keamanan. Maklum saat menjadi mahasiswa, dulu ga punya kendaraan,
malem-malem keluar rumah tanpa didampingi teman (cowok, a.k.a pacar atau
rame-rame sama teman) agak rentan kejahatan. Makanya, waktu itu saya kenyang
dengan baca reviewnya di koran lokal saja dan review dari teman yang berangkat
ke gigs yang hanya seharga 5000 rupiah untuk karcisnya. Ada celetukan lucu dari
vokalis baru PS saat itu:
āKesalahan terlihat pada saatIyo akan menyanyikan lagu āNyalaā. Saat akan bernyanyi tiba-tiba nada dan cara bernyanyi Iyo yang sumbang. Penonton pun mencemooh. āCeuk aing oge usiaā (terjemahan: kata gua juga usia), Kata Iyo di atas panggung mencoba mengelak dari kesalahannya. āTenang bos, tenang bos, bayar goceng aja protesā lanjutnya.ā(Hal. 136)
Membaca lembar demi lembar buku
yang ditulis oleh Idhar Resmadi ini serasa menonton film dokumentasi, secara
visual, nyata bagi saya. Penulisan narasi-deskriptif dengan kedekatan penulis
dengan sumbernya membuat buku ini sangat bisa dibaca terus tanpa jeda,
menyenangkan sekali.
Terlepas dari keaadaan bandnya
sekarang yang sudah ditinggal beberapa personelnya, masihkah mereka bisa bertahan?
Saya akan menunggu untuk harmonisasi musik, lirik penuh makna dan
penampilan-penampilan PS selanjutnya.
Ketika saya bertemu dengan suami,
sebelum menikah saya sempat menghadiahi satu video ulang tahun yang musik
latarnya memakai lagu āSpokenā dari PS, huhu.. Maaf tidak meminta ijin sama
yang bersangkutan. Semoga tidak apa-apa. Suami dan saya penikmat musik, bedanya
saya penikmat yang amatir yang cuma tahu, musik itu untuk didengarkan dengan
cara menutup mata dan mendengarkannya, selesai. Ini dia link tautan video untuk
calon suami yang berulangtahun saat itu..
Pembuatannya dikerjakan seorang
teman yang rela jepret frame per frame..
Di masa
setelah nikah dan mengandung anak pertama, kami berangkat menonton PS di
Selasar Sunaryo Art Space. VoilĆ , ini gigs pertama saya ditemani suami,
merasa aman, bisa menikmati musik dan best part, hamil anak pertama. Sempat mau
diberi nama Elora lohh, tapi ga jadi. Kemudian ada juga gigs di tahun 2015, di
PVJ. Penampilan di PVJ ini, PS setelah ditinggal kedua personel kembarnya. Tapi
penampilan mereka menjadi begitu kaya dengan bantuan personel dari band lain
untuk mengisi kekosongan kedua personel yang keluar. Sampai saat ini, di tahun
2016, saya masih menunggu geliat gairah bermusik di Bandung, semoga selalu
tumbuh lagi band-band yang bagus. Walau ketika saya ngobrol dengan suami, akan
selalu ada waktunya, berulang kembali.
Romantisme
musik, bagi saya sebagai penikmat musik amatir dan Pure Saturday adalah salah
satu bagian hidup saya yang selalu saya nikmati sebagai bagian yang membentuk
saya.
Pour moi, la vie sans musique est
impossible.
La joie de vie est dāĆ©couter aux sons, aux sons magiques, cāest
la musique!
Vive la musique!
Comments
Post a Comment